Rabu, 14 Oktober 2015
Senin, 06 April 2015
PERKEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA TAHUN 2010 - 2013
PENDAHULUAN
Perkembangan
lembaga keuangan syariah di Indonesia dimulai semenjak tahun 1990-an dan
mengalami perkembangan yang semakin marak pada awal tahun 2000-an. Ditandai
dengan bermunculannya sejumlah bank syariah yang didirikan oleh perbankan
konvesional, baik yang sahamnya dimiliki pemerintah maupun swasta. Bahkan di
saat krisis ekonomi lembaga keuangan syariah menunjukkan performanya. Sistem keuangan syariah mulai muncul di
Indonesia yaitu sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Tahun 1991. Setelah
itu disusul oleh bank-bank lainnya, termasuk BPR Syariah serta Baitul Maal wa
Tamwil (BMT). Sekarang hampir semua bank nasional memiliki unit ataupun cabang
syariah. Antara lain Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, BNI S yariah, BTN
Syariah, HSBC Syariah, unit syariah Bukopin, BRI Syariah dan sebagainya.
Grand
Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah pada tahun 2010
Sebagai langkah konkrit
upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah
merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai
strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis,
yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di
ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif
dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang
lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang
memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai
program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand
strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah
sebagai berikut:
1.
Menerapkan
visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun
pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target
asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun
2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling
atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan
pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan
syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan
pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar
81%.
2.
Program pencitraan baru perbankan
syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding.
Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua
belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan
skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika,
teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli
investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah
“bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
3.
Program pemetaan baru secara lebih
akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan
pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua
lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank
syariah.
4.
Program pengembangan produk yang
diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value
yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas
dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
5.
Program peningkatan kualitas layanan
yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang
mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan
produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan
tetap memenuhi prinsip syariah; dan
6.
Program sosialisasi dan edukasi
masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi
langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site),
yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa
perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
DATA
PERKEMBANGANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
laju pertumbuhan aset
perbankan syariah tersebut tetap lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan aset
perbankan secara nasional, sehingga pangsa perbankan syariah secara keseluruhan
dengan memasukkan BPRS terhadap industri perbankan nasional meningkat dari
4,61% menjadi 4,93%. Selain itu, pertumbuhan aset tersebut tetap diikuti
pelaksanaan fungsi intermediasi yang optimal. Hal ini tercermin pada tren
pertumbuhan dan nominal pembiayaan BUS dan UUS yang lebih tinggi dibandingkan
dana pihak ketiga. Pada akhir 2013 pembiayaan BUS dan UUS tercatat sebesar
Rp188,6 triliun, sementara dana pihak ketiga yang dihimpun mencapai Rp187,2
triliun, sehingga financing to deposit ratio perbankan syariah tetap relatif
tinggi. Pada kelompok BUS misalnya, financing to deposit ratio tercatat sebesar
95,9% pada akhir periode laporan.
Secara regional,
perkembangan perbankan syariah yang cukup pesat terjadi di sejumlah daerah. Hal
tersebut tercermin dari pertumbuhan kegiatan penghimpunan dana pihak ketiga
(DPK) dan atau penyaluran pembiayaan yang masih cukup tinggi antara lain di
beberapa propinsi di kawasan Kalimantan dan Jawa-Bali-Nusa Tenggara yang
melebihi laju pertumbuhan perbankan syariah secara nasional. Namun demikian
sejumlah propinsi khususnya di kawasan Sumatra menunjukan pertumbuhan yang
relatif rendah dibandingkan industri. Secara proporsi, perkembangan perbankan
syariah masih terkonsentrasi di wilayah DKI Jakarta. Namun proporsi pembiayaan
yang disalurkan di wilayah ibu kota yang mencapai 40,1% relatif lebih rendah
dibandingkan proporsi dana yang dihimpun di DKI Jakarta sebesar 46,6%, hal mana
mencerminkan keberpihakan perbankan syariah terhadap pengembangan perekonomian
di luar wilayah ibu kota.
KELEMBAGAAN
Jumlah bank yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pada tahun 2013 bertambah
seiring dengan beroperasinya sejumlah bank baru. Jumlah BUS tercatat tidak
bertambah dari tahun sebelumnya yaitu tetap sebanyak 11 BUS, sedangkan jumlah
UUS berkurang menjadi 23 UUS dengan ditutupnya UUS HSBC sebagai bagian dari
konsolidasi global bank induknya. Sementara itu jumlah BPRS bertambah dari 158
BPRS menjadi 163 BPRS. Penambahan jumlah BPRS tersebut bersumber dari empat
izin pendirian usaha baru dan satu izin konversi dari BPR konvensional. Selain
itu pada tahun 2012 juga terjadi pencabutan izin usaha satu BPRS.
Bertambahnya jumlah
bank juga diikuti dengan penambahan jaringan kantor, yang pada periode laporan
bertambah sebanyak 565 kantor. Dari jumlah itu, 326 kantor merupakan jaringan
kantor baru dari BUS dan UUS, dan satu kantor baru BPRS Peningkatan jumlah
kantor tersebut pada sebagian besar dalam bentuk Kantor Cabang Pembantu (232
kantor), adapun penambahan Kantor Cabang tercatat sebanyak 53 kantor.
Dalam rezim suku bunga
rendah yang berlanjut hingga awal 2013, persaingan di pasar pendanaan khususnya
dalam memperebutkan dana ‘murah’ seperti giro dan tabungan semakin ketat
sehingga perbankan syariah yang relatif kecil skala usahanya kembali mengandalkan
deposito untuk mengejar target pertumbuhan dana. Namun seiring kenaikan suku
bunga dana sebagai respon atas kenaikan BI rate sejak triwulan 2-2013, maka
pertumbuhan deposito perbankan syariah juga melambat karena sulit menyaingi BUK
besar yang memiliki struktur pendanaan yang lebih fleksibel untuk secara lebih
agresif menaikkan suku bunga. Hal ini terkait dengan porsi giro dan tabungan
terhadap DPK perbankan syariah yang masih sebesar 41,3% (turun dari 42,6% pada
tahun 2012), lebih rendah dibandingkan porsi dana murah BUK besar (buku 4) yang
mencapai 68% dan menguasai hingga 55% dana murah di pasar. Selain itu pada
perbankan syariah, return dana pihak ketiga bergantung pada kinerja
sektor riil di sisi aset bank (penentuan secara ex post), sehingga tidak
se-fleksibel BUK yang dapat segera merespon perubahan suku bunga.
Indikasi terbatasnya
daya saing perbankan syariah tersebut tercermin dari kenaikan return deposito
bank syariah berjangka waktu satu bulan yang kurang dari 100 bps, sementara
secara nasional bunga deposito satu bulan naik lebih dari 200 bps dalam periode
yang laporan. Selain itu, perlambatan DPK perbankan syariah diperkirakan lebih
dipengaruhi oleh penurunan preferensi kelompok nasabah institusi yang lebih
cenderung lebih sensitif terhadap tingkat return mengingat ukuran dana
yang relatif besar. Indikasi hal tersebut tercermin pada pertumbuhan DPK
nasabah institusi tahun 2013 sebesar 20,0% (yoy), lebih rendah dibanding
pertumbuhan DPK kelompok nasabah individual yang mencapai 28,9% (yoy). Selain
itu, dari sisi jumlah rekening juga terjadi penurunan jumlah rekening deposito
kelompok nasabah institusi hingga ±20 ribu rekening, disamping penurunan ±76
ribu rekening giro kelompok nasabah yang sama. Perkembangan tersebut
menyebabkan pangsa DPK institusi menurun dari 50,1% pada tahun 2012 menjadi
48,3% pada tahun 2013 ( Dari gambar sebelumnya ), atau menyesuaikan dengan
tingkat return yang masih dapat ditawarkan.
Meskipun secara nominal
pertumbuhan DPK ( Dana pihak ketiga ) mengalami pelambatan, namun dari sisi
jumlah rekening terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun
sebelumnya. Jumlah rekening DPK yang dikelola BUS dan UUS per Desember 2013
mencapai 12,7 juta rekening, atau sekitar 8,6% dari total rekening simpanan
yang dikelola bank umum secara nasional. Peningkatan jumlah rekening DPK juga
terjadi pada BPRS yang telah mengelola 0,9 juta rekening, sehingga total
rekening DPK perbankan syariah mencapai 13,6 juta, meningkat sebanyak 1,9 juta
rekening. Perkembangan tersebut menunjukkan dukungan kuat perbankan syariah
dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat. Peningkatan akses dan preferensi
nasabah atas produk dan layanan perbankan syariah senantiasa menjadi sasaran
yang terus diupayakan pencapaiannya oleh otoritas antara lain melalui program
iB campaign bersama industri perbankan syariah, edukasi masyarakat dan
pengaturan serta perizinan perluasan jaringan.
Pembiayaan
dan Risiko Kredit (credit risk)
Pertumbuhan pembiayaan
(yoy) pada BUS tercatat sebesar 22,1%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya
sebesar 34,2%. Demikian pula halnya pertumbuhan pembiayaan pada kelompok UUS
yang turun dari 85,3% menjadi 33,5%, serta pertumbuhan pembiayaan BPRS yang turun
dari 32,8% menjadi 24,8% pada periode yang sama (Grafik 1.7). Perlambatan yang
terutama dialami sejak semester kedua 2013 antara lain dipengaruhi ketatnya
likuiditas sumber dana pembiayaan seiring kontraksi moneter, ekspektasi
kenaikan risiko kredit, dan implementasi kebijakan prudensial seperti Financing
To Value (FTV) dan down payment pembiayaan konsumsi.
Dilihat dari jenis
akadnya, secara umum penyaluran pembiayaan perbankan syariah masih didominasi
oleh akad murabahah. Pada periode laporan pembiayaan murabahah tumbuh
25,6% (yoy), sehingga menempati pangsa 60,0% dari total pembiayaan BUS dan UUS.
Sementara pada pembiayaan BPRS pangsa akad murabahah mencapai 80,3%.
Pemanfaatan akad-akad lain dalam pembiayaan berkembang secara dinamis,
khususnya pada kelompok BUS dan UUS. Pada periode laporan, peningkatan
preferensi penggunaan akad ijarah dalam pembiayaan BUS dan UUS masih
berlanjut dengan pertumbuhan 42,7% (yoy), lebih tinggi dibanding peningkatan
penggunaan akad lainnya. Sebaliknya pembiayaan berbasis qardh yang sejak
tahun lalu mengalami perlambatan, pada periode laporan tumbuh -25,6% (yoy),
sebagai dampak penyesuaian kebijakan terkait kehati-hatian dalam penjualan
produk rahn emas.
PERKEMBANGAN
SAHAM SYARIAH
Sejarah pasar modal
syariah di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah pada
tahun 1997. Selanjutnya, pada tahun 2000, Bursa Efek Indonesia (dh. Bursa Efek
Jakarta) meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) dengan tujuan untuk
memandu investor yang ingin menginvestasikan dananya secara syariah. Instrumen
investasi syariah di pasar modal bertambah dengan kehadiran Sukuk korporasi
pada tahun 2002.
Sejak tahun 2007, saham-saham yang memenuhi kriteria sebagai
saham syariah dikategorikan dalam Daftar Efek Syariah (DES). Pada tahun
tersebut, DES yang pertama yang memuat 174 saham syariah. Pada tahun 2008,
terbit Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara untuk pertama
kalinya. Selanjutnya, pada tahun 2011, indeks saham syariah bertambah dengan
diluncurkannya Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI).
Selama
tahun 2013, terbit dua kali DES periodik. Pada DES periode I terdapat 302 saham
syariah. Hingga akhir DES periode I, jumlah saham syariah bertambah menjadi
310. Jumlah saham syariah semakin meningkat pada DES periode II yaitu sebanyak
328, sehingga sampai dengan akhir Desember 2013, jumlah saham syariah sebanyak
331.
Mayoritas
saham syariah bergerak dalam sektor Perdagangan, Jasa dan Investasi (27,22%),
sektor Properti, Real Estate & Konstruksi (16,46%), sektor Industri Dasar
dan Kimia (15,19%), dan sektor lainnya masing-masing dibawah 10%.
PROFITABILITAS DAN PERMODALAN
Pendapatan operasional
perbankan syariah dalam periode laporan menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan. Pada BUS dan UUS, pendapatan operasional per Desember 2012 tercatat
sebesar Rp29,0 triliun atau meningkat sebesar 44,9% (yoy). Kenaikan pendapatan
operasional tersebut ditopang oleh pendapatan dari aset produktif (penyaluran
dana) yang tumbuh sebesar 37,3% (yoy), disamping pendapatan operasional lainnya
yang meskipun memiliki share kurang dari 20%, namun tercatat tumbuh
86,8% (yoy). Pendapatan dari pembiayaan yang mencapai Rp21,2 triliun masih
mendominasi sumber pendapatan operasional (73,0%), hal mana mencerminkan
konsistensi preferensi dan keseriusan perbankan syariah melakukan intermediasi
langsung ke sektor riil. Selain itu, pertumbuhan pendapatan dari pembiayaan
yang mencapai 40.6% (yoy) melebihi pertumbuhan aset produktif sebesar 23,8%
(yoy) juga mencerminkan peningkatan produktivitas aset. Adapun pertumbuhan
pendapatan operasional lainnya didukung oleh kenaikan pendapatan dari transaksi
valas dan dari adanya koreksi pencadangan kerugian aset produktif. Sedangkan
pendapatan dari jasa layanan (fee based income) sedikit menurun (-2,8%,
yoy) sejalan dengan upaya peningkatan kehati-hatian melalui pembatasan
transaksi beragun emas.
Sepanjang 2013, biaya
operasional BUS dan UUS mencatatkan pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu
sebesar 53,5% (yoy), atau melebihi laju pertumbuhan pendapatan operasional.
Kenaikan biaya operasional tersebut dipengaruhi oleh kenaikan biaya pencadangan
kerugian aset produktif yang meningkat 118,7% (yoy) sebagai antisipasi bank
atas meningkatnya risiko kredit. Sedangkan biaya overhead seperti biaya
tenaga kerja, sewa dan promosi, tumbuh sebesar 30,5% (yoy), atau lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan pendapatan operasional. Sehingga rasio biaya overhead
terhadap pendapatan operasional BUS dan UUS juga menurun dari 36,2% pada
tahun 2012, menjadi 31,3% pada tahun 2013 (grafik 1.11). Perkembangan biaya
overhead tersebut mencerminkan adanya peningkatan efisiensi kegiatan
operasional perbankan syariah. Meski demikian, rasio biaya operasional terhadap
pendapatan operasional (BOPO) yang disesuaikan dengan memasukkan distribusi
bagi hasil pada pembilang, tetap meningkat dari 82,6% pada tahun 2012 menjadi
84,5% pada tahun laporan sebagai dampak kenaikan biaya pencadangan kerugian.
Lebih jauh lagi, net operational margin BUS dan UUS juga mengalami
penurunan dari 2,2% menjadi 2,1% dalam periode yang sama.
Dari sisi profitabilitas,
laba bersih BUS dan UUS pada tahun 2013 tercatat sebesar Rp3,3 Triliun
meningkat 29,0% dari tahun sebelumnya. Namun demikian pertumbuhan tersebut
melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 72,3% (yoy). Dari sisi tingkat
pengembalian aset (Return on Asset/ROA), pertumbuhan laba yang melambat
juga tercermin dari penurunan ROA yaitu dari 2,1% pada tahun 2012 menjadi 2,0%
pada tahun laporan. Dibandingkan dengan perbankan secara nasional yang memiliki
ROA 3,1%, tingkat profitabilitas perbankan syariah cenderung lebih rendah
mengingat kemampuan menghasilkan pendapatan selain dari kegiatan penyaluran
dana masih relatif terbatas.
Adapun pada BPRS, dalam periode
yang sama pendapatan operasional tercatat tumbuh sebesar 24,8% (yoy). Namun
pertumbuhan tersebut diikuti kenaikan biaya operasional yang mencapai 28,7%
(yoy), terutama biaya terkait penyusutan dan penyisihan aset produktif, serta
biaya tenaga kerja. Kondisi tersebut mempengaruhi efisiensi operasi BPRS yang
sedikit menurun, tercermin dari kenaikan rasio biaya overhead (diluar
penyisihan/penyusutan aset produktif) terhadap pendapatan operasional dari
43,8% pada akhir 2012, menjadi 44,7% pada akhir periode laporan. Sementara dari
sisi profitabilitas, laba bersih BPRS selama tahun 2013 tercatat tumbuh 21,4%
(yoy) menjadi Rp129,3 Milyar, dengan tingkat pengembalian aset (ROA) sebesar
2,8%.
Pada periode laporan
permodalan BUS secara umum cenderung meningkat. Kapasitas permodalan bank dalam
mengantisipasi risiko (risk bearing capacity) yang tercermin dari jumlah
modal inti yang meningkat sebesar Rp3,6 triliun atau 31,7% (yoy), serta modal
pelengkap yang meningkat Rp0,7 triliun (25,2%,yoy). Di sisi lain pertumbuhan
ATMR BUS mencapai 27,9% (yoy), sehingga CAR BUS meningkat dari 14,1% pada tahun
2012 menjadi 14,4% pada akhir 2013. CAR tersebut mengindikasikan tingkat
ketahanan risiko yang masih cukup memadai mengingat masih melebihi standar
sebesar 8%, terlebih lagi rasio modal inti terhadap ATMR tergolong sangat
memadai yaitu mencapai 11,8%. Sementara itu, kondisi permodalan BPRS juga
tergolong memadai dengan rasio kecukupan modal mencapai 22,1%.
DATA
PERKEMBANGANGAN REKSADANA SYARIAH DI INDONESIA
Secara
kumulatif sampai dengan 30 Desember 2013, terdapat 65 reksa dana syariah yang
aktif, meningkat 12,07% dibanding akhir tahun 2012 yang berjumlah 58. Jika
dibandingkan dengan total reksa dana aktif, maka proporsi jumlah reksa dana
syariah aktif mencapai 7,90% dari total 823 Reksa Dana aktif.
Ditinjau dari Nilai
Aktiva Bersih (NAB), total NAB reksa dana syariah aktif pada 30 Desember 2013
mencapai Rp 9,43 triliun, meningkat 17,14% dibanding NAB akhir tahun 2012 yang
berjumlah Rp 8,05 triliun. Jika dibandingkan dengan total NAB reksa dana aktif,
maka proporsi NAB reksa dana syariah aktif mencapai 4,90% dari total NAB reksa
dana aktif sebesar Rp 192,54 triliun.
ASURANSI SYARIAH
Pada Tahun 2013 jumlah perusahaan
perasuransian yang menyelenggarakan usaha dengan prinsip syariah adalah 49
perusahaan. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan jumlah
penyelenggara usaha di tahun 2012. Sebanyak empat unit syariah dari perusahaan
asuransi kerugian telah memperoleh izin pada tahun 2013.
Selama kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah
perusahaan perasuransian syariah mengalami peningkatan dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 4,06%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yang
mencapai 8,89%, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut.
Selama
lima tahun terakhir, aset perusahaan pembiayaan syariah menunjukkan pertumbuhan
yang relatif meningkat. Pencapaian pertumbuhan tertinggi aset perusahaan
pembiayaan syariah dihasilkan pada tahun 2011-2012 dengan tingkat pertumbuhan
mencapai 427,67%, sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik 3.3. Tren perkembangan
aset perusahaan pembiayaan syariah yang sangat signifikan antara lain
disebabkan oleh peningkatan pembiayaan syariah yang diajukan oleh konsumen.
Jika dibandingkan dengan
total aset perusahaan pembiayaan konvensional, total aset perusahaan pembiayaan
syariah yang berjumlah Rp24.639 miliar tersebut masih memiliki porsi yang
kecil, yaitu sebesar 5,51% dari total aset perusahaan pembiayaan konvensional yang
berjumlah Rp447.102 miliar. Begitu pula dengan total piutang perusahaan
pembiayaan syariah yang berjumlah Rp22.356 miliar, juga masih memiliki porsi
yang cukup kecil yaitu sebesar 6% dari total piutang pembiayaan konvensional
yang berjumlah Rp372.399 miliar.
LIKUIDITAS
PERBANKAN SYARIAH
Selama tahun 2013,
Perbankan Syariah mulai menunjukkan kecenderungan untuk menempatkan likuiditas
pada instrumen yang bertenor lebih panjang. Hal ini terlihat dari meningkatnya
penempatan BUS/UUS pada instrumen RR SBSN yang memiliki tenor 1 bulan dan SBIS
yang memiliki tenor 9 bulan. Di sisi lain peningkatan penempatan pada FASBIS
hanya meningkat tipis.
Volume
dan Frekuensi Transaksi Pasar Uang Syariah (PUAS)
Pada tahun 2013,
aktivitas PUAS mengalami pertumbuhan yang signifikan, sebagaimana pertumbuhan
yang terjadi pada tahun 2012. Secara keseluruhan, volume transaksi PUAS pada
tahun 2013 meningkat tajam sebesar 166,53% (yoy) dari Rp40,2 triliun
menjadi Rp107,1 triliun. Demikian juga dengan rata-rata harian (RRH) volume
PUAS yang meningkat sebesar 151,43% dari Rp172,5 miliar menjadi Rp433,7 miliar.
Sedangkan frekuensi transaksi meningkat sebesar 41,70%.
Pertumbuhan aktivitas
PUAS yang terjadi pada tahun 2013, baik volume maupun frekuensi transaksi,
mengindikasikan meningkatnya kebutuhan likuiditas jangka pendek perbankan
syariah. Pembiayaan yang diberikan terus meningkat sebagai upaya ekspansi
kegiatan usaha perbankan syariah dengan pertumbuhan sebesar 24,8% (yoy). Namun
demikian, peningkatan pembiayaan tersebut tidak diimbangi oleh peningkatan DPK
sebagai sumber dana utama perbankan syariah yang hanya tumbuh sebesar 24,4%%
(yoy). Pada semester I 2013, FDR perbankan syariah mengalami peningkatan,
kemudian menurun pada semester II 2013, namun tetap tinggi yaitu di atas 100%
(Grafik 5.3). Sejalan dengan hal tersebut, kebutuhan likuiditas jangka pendek
yang dialami oleh perbankan syariah mengalami peningkatan yang tercermin dari
meningkatnya volume transaksi di PUAS.
Industri
perbankan syariah Indonesia tahun 2014, diperkirakan tetap tumbuh positif dan
menjanjikan walaupun terdapat beberapa tantangan seperti: (i) awal peralihan
pengawasan perbankan syariah dari BI kepada OJK, (ii) tahun Pemilihan Umum
(Pemilu), (iii) realisasi sejumlah komitmen pemerintah seperti pengalihan
mayoritas dana haji kepada perbankan syariah, pendirian bank wakaf dan, (iv)
dampak kebijakan lanjutan Federal Reserve untuk memulihkan perekonomian
Amerika termasuk pergerakan harga minyak dan sejumlah komoditas internasional.
Disamping tantangan-tantangan di atas, skenario pesimis terjadi apabila
perekonomian domestik tahun 2014 masih menghadapi masalah defisit transaksi
perdagangan sehingga menekan nilai tukar Rupiah dan inflasi di akhir tahun 2013
belum dapat diarahkan kepada target inflasi 2014. Menurunnya daya beli
masyarakat akibat kenaikan harga selama 2013 apabila tidak membaik di tahun
2014 akan berpengaruh kepada kinerja sektor riil, kualitas pembiayaan dan
target-target pencapaian perbankan syariah. Kemudian, apabila tekanan ekonomi
2013 tersebut berhasil diatasi, estimasi perbankan syariah akan menjadi skenario
moderat yang ditandai oleh kontinuitas peningkatan penghimpunan dana,
penyaluran dana termasuk kontribusi perbankan syariah bagi UKM dan peningkatan
jumlah deposan. Terakhir, skenario optimis terjadi apabila faktor-faktor
positif di skenario moderat didukung oleh realisasi sejumlah komitmen
pemerintah, dukungan induk yang lebih besar bagi pengembangan perbankan
syariah, stabilitas ekonomi terhindar dari gejolak eksternal (a.l. pelarian
dana asing, kenaikan harga komoditas, minyak), dan faktor struktural seperti
terus bertambahnya jumlah bank syariah (BUS, UUS maupun BPRS) dan kantor
layanan syariah serta hasil positif dari gerakan ekonomi syariah (GRES).
Senin, 30 Maret 2015
Jumat, 20 Februari 2015
HUTANG LUAR NEGERI YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN NASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
11.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia
merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, oleh sebab
itu banyak negara yang ingin menguasai, memeras dan menguras bangsa Indonesia.
Sejak kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945,
Indonesia mulai membangun negaranya agar menjadi negara yang mandiri, demi
mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang adil dan makmur.
Setelah merdeka, pemerintahan Indonesia memiliki warisan utang luar negeri yang
diwariskan oleh pemerintahan Hindia Belanda, walaupun utang tersebut tidak
pernah di bayar oleh pemerintahan Indonesia, akan tetapi pemerintah Indonesia
memiliki utang yang baru. Utang pemerintah merupakan utang yang digunakan untuk
melancarkan pembangunan perekonomian Indonesia.
Pembangunan perekonomian suatu bangsa merupakan cara yang paling pertama
dilakukan oleh suatu bangsa untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan seluruh rakyat suatu bangsa. Pembangunan
ekonomi suatu negara tidak hanya dapat dilakukan dengan bertekat dan semangat
yang membaja dari seluruh rakyatnya untuk membangun, tetapi harus di dukung
juga oleh ketersediaan sumber daya ekonomi, baik sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya modal yang produktif. Jadi, tanpa adanya daya dukung
yang kuat dari sumber daya ekonomi yang produktif, maka pembangunan ekonomi
mustahil dapat dilaksanakan dengan baik dan memuaskan. Adapun kepemilikan
terhadap sumber daya ekonomi ini oleh negara-negara dunia ketiga atau
negara-negara sedang berkembang tidaklah sama. Ada negara yang memiliki
kelimpahan pada jenis sumber daya tertentu, ada pula yang kekurangan.
Indonesia merupakan termasuk salah satu
negara sedang berkembang. Pemerintah Indonesia berusaha dengan berbagai
cara untuk melakukan pembangunan ekonomi untuk meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi demi meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan sumber daya
ekonomi yang dimiliki Indonesia. Tetapi akibat dari sumberdaya ekonomi yang
terbatas terutama sumberdaya modal maka pemerintah Indonesia mendatangkan
pinjaman-pinjaman dari negara-negara lain untuk dapat memberikan dukungan yang
cukup bagi pelaksanaan program pembangunan ekonomi nasional.
Pinjaman-pinjaman dari negara-negara lain ini tidak bersifat cuma-cuma, tetapi
dengan berbagai konsekuensi baik yang bersifat komersil maupun politis.
Pada satu sisi, datangnya pinjaman dari luar negeri tersebut dapat digunakan
untuk mendukung program pembangunan ekonomi nasional pemerintah, sehingga
target pertumbuhan ekonomi nasional masyarakat meningkat. Tetapi pada sisi
lain, diterimanya pinjaman dari luar dapat menimbulkan berbagai masalah dalam
jangka panjang, baik ekonomi maupun politik, dan akan menjadi beban yang
seolah-olah tak terlepaskan, yang justru menyebabkan berkurangnya tingkat
kesejahteraan rakyat.
Utang
pemerintah sudah berawal sejak masa jabatan presiden Soekarno, dan berlanjut ke
masa presiden Soeharto, BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarno Putri, serta hingga sampai dengan presiden sekarang Soesilo Bambang
Yudhoyono. Dalam artian bahwa sejak merdeka pemerintah Indonesia sudah memiliki
pinjaman dari negara-negara lain (utang) yang wajib dibayar dan setiap
pergantian kepala pemerintahan, pemerintahan baru tersebut sudah memiliki
kewajiban terhadap negara pemberi pinjaman. Didalam penulisan ini penulis ingin
melihat utang pemerintah Indonesia dari tahun 1990-2005, khususnya utang luar
negeri pemerintah Indonesia.
Oleh sebab itu, kami ingin mengangkat masalah mengenai ” Utang Pemerintah
Indonesia”.
1.1.2 Perumusan Masalah
Utang pemerintah Indonesia sangat perlu diketahui mengingat sejak lahir kita
semua sudah memiliki kewajiban utang kepada negara-negara pemberi pinjaman
karena kita merupakan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, yang menjadi
perumusan masalah adalah Bagaimanakah Utang Pemerintah Indonesia ?
1.1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah : Untuk mengetahui utang pemerintah
Indonesia.
BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN
2.1. Landasan Teoritis
2.1.1. Pengertian Utang
Utang
merupakan satu kewajiban yang harus di bayar dikemudian hari yang timbul akibat
transaksi-transaksi ekonomi dan keuangan di mana para pemberi pinjaman
menyerahkan sesuatu yang berharga pada suatu waktu terrentu dalam pertukaran
dengan suatu perjanjian para penerima pinjaman harus membayarnya dikemudian
hari, ( Lester V. Chandler, 1962 : 40 ).
2.1.2. Jenis Utang
Ada banyak jenis-jenis utang, dalam penulisan ini hanya empat yang kami sebut.
Menurut Lester V. Chandler ( 1962 : 43 ), utang terbagi dalam berbagai jenis
yaitu :
a. Utang berdasarkan sifat si pemberi pinjaman terbagi
atas ;
- utang perseorangan
- utang perusahaan
- utang pemerintah.
b. Utang berdasarkan sifat si penerima pinjaman terbagi
atas ;
- utang yang diberikan olah
perseorangan
- utang yang diberikan oleh perusahaan
- utang yang diberikan oleh
pemerintah.
c. Utang berdasarkan untuk tujuan apa utang itu
diciptakan ;
- utang konsumsi
- utang produksi.
d. Utang berdasarkan lamanya waktu peminjaman ;
- utang jangka panjang ( 1-5 tahun )
- utang jangka pendek ( kurang dari 1
tahun )
- utang yang dapat segera dibayar.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Utang Pemerintah Indonesia Dari Tahun 1990-2005
Indonesia merupakan negara sedang berkembang. Sebelum terjadi krisis
ekonomi di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi
yang cukup baik. Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan ekonomi yang
dicanangkan oleh pemerintahan saat itu, yang menempatkan pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi sebagai target prioritas pembangunan perekonomian nasional.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak akhir tahun 1970-an selalu positif, serta
tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, menyebabkan target
pertumbuhan ekonomi yang relatif tersebut tidak cukup dibiayai dengan modal
sendiri, tetapi harus ditunjang dengan menggunakan bantuan modal asing.
Modal asing ini merupakan pinjaman / utang pemerintah terhadap negara pemberi
pinjaman. Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta soft
loan dari negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga pinjaman lainnnya, baik
secara bilateral maupun multilateral.
Selanjutnya seiring dengan semakin
berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman yang bersyarat lunak semakin
terbatas diberikan, sehingga untuk keperluan-keperluan tertentu dan dalam
jumlah yang terbatas, pemerintah mulai menggunakan pinjaman komersial dan
obligasi dari kreditur swasta internasional.
Karena semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk
secara terus-menerus menjadi penggerak utama pembangunan nasional, maka
pemerintah Indonesia mengambil suatu kebijakan agar pembangunan perekonomian
Indonesia tetap berjalan dengan lancar demi kepentingan rakyat Indonesia agar
adil dan sejahtera yaitu dengan cara melakukan kebijakan pinjaman luar negeri.
Adapun utang pemerintah Indonesia dari
tahun 1990-2005 dapat dilihat dari pinjaman pemerintah sebagai berikut :
TABEL III-1
UTANG PEMERINTAH INDONESIA, 1990-2005
( Dalam Milyar Rupiah )
Tahun
|
Pinjaman Program
(realisasi)
|
Pinjaman Proyek
(realisasi)
|
Total Utang
|
1990
|
83,815
|
13,465
|
97,280
|
1991
|
99,751
|
13,855
|
133,606
|
1992
|
110,979
|
85,896
|
196,875
|
1993
|
107,525
|
105,814
|
213,339
|
1994
|
98,378
|
107,525
|
205,903
|
1995
|
90,088
|
98,378
|
188,466
|
1996
|
119,001
|
90,088
|
209,089
|
1997
|
143,856
|
119,001
|
262,857
|
1998
|
511,067
|
249,257
|
760,324
|
1999
|
249,257
|
26,181
|
275,438
|
2001
|
6,416
|
19,736
|
26,152
|
2002
|
9,346
|
19,964
|
29,310
|
2003
|
10,350
|
18,900
|
29,250
|
2004
|
3,140,80
|
18,604,8
|
21,745,6
|
2005
|
7,905
|
20,130,8
|
28,035,8
|
Sumber : Data Koalisi Anti Utang (DEPKEU)
Dari
tabel III-1 dapat dilihat bahwa selama kurun waktu tahun 1990 sampai dengan
tahun 1997 total utang pemerintah Indonesia masih stabil atau tidak terlalu
besar perbedaan antara jumlah utang pemerintah pada saat tahun tersebut.
Tetapi
pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi di Indonesia, utang pemerintah Indonesia
meningkat drastis menjadi Rp. 760.324 milyar, jadi pemerintah dengan segala
kebijakannya memutuskan untuk melakukan pinjaman luar negeri guna menyelamatkan
perekonomian nasional yang terancam kebangkrutan akibat dari semakin melemahnya
mata uang rupiah terhadap dollar. Adapun pinjaman pemerintah yang begitu banyak
pada tahun 1998 digunakan untuk menutup defisit anggaran yang besar akibat
terjadinya krisis ekonomi.
Setelah tahun1998, pinjaman pemerintah mulai menurun dari tahun 1999 sampai
dengan 2005 demi mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap negara pemberi
pinjaman.
3.2. Dampak Utang Pemerintah Terhadap Pembangunan Nasional
Dalam jangka panjang, utang luar negeri dapat menimbulkan permasalahan
ekonomi pada banyak negara penerima pinjaman. Di samping beban ekonomi yang
harus di terima rakyat pada saat pembayaran kembali, juga beban psikologis
politis yang harus diterima oleh negara penerima pinjaman akibat
ketergantungannya denag bantuan asing.
Sejak krisis moneter yang terjadi pada awal tahun 1980-an, negara-negara
berkembang seperti Indonesia semakin terjerumus dalam krisis utang luar negeri,
walaupun ada kecenderungan bahwa telah terjadi perbaikan atau kemajuan
perekonomian di negara-negara tersebut. Peningkatan pendapatan per kapita atau
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara berkembang belum berarti
bahwa pada negara-negara tersebut dikategorikan kedalam negara yang maju, dalam
arti struktur ekonominya telah berubah menjadi struktur ekonomi industri dan
perdagangan luar negerinya sudah mantap. Tetapi pada kenyataannya,
besar-kecilnya jumlah utang pemerintah yang dimiliki oleh suatu negara yang
sedang berkembang lebih disebabkan karena adanya defisit current account,
kekurangan dana investasi, pembangunan perekonomian yang tidak dapat
ditutup dengan sumber-sumber dana didalam negeri, angka inflasi yang tinggi,
dan ketidakefisienan struktural di dalam perekonomiannya.
Sehingga meskipun secara teknis, pemerintahan suatu negara telah sempurna dalam
upaya pengendalian utang luar negerinya, pencapaian tujuan pembangunan akan
sia-sia, kecuali jika negara tersebut secara finansial benar-benar kuat, yaitu
pendapatan nasionalnya mampu memikul beban langsung yang berupa pembayaran
cicilan pokok pinjaman luar negeri dan bunganya dalam bentuk uang kepada
pemberi pinjaman di luar negeri, karena utang luar negeri selalu disertai
dengan kebutuhan devisa untuk melakukan pembayaran kembali. Pembayaran cicilan
utang beserta bunganya merupakan pengeluaran devisa yang utama bagi banyak
negara-negara penerima pinjaman.
TABEL PEMBAYARAN
UTANG PEMERINTAH INDONESIA, 1990-2005 ( Dalam Milyar Rupiah )
Tahun
|
Pembayaran Utang
|
1990
|
10,011
|
1991
|
10,837
|
1992
|
11,942
|
1993
|
12,302
|
1994
|
12,780
|
1995
|
13,225
|
1996
|
17,428
|
1997
|
35,297
|
1998
|
44,984
|
1999
|
39,335
|
2000
|
47,776
|
2001
|
57,270
|
2002
|
55,120
|
2003
|
51,170
|
2004
|
48,556
|
2005
|
52,111
|
2006
|
91,613
|
Sumber :
Data Koalisi Anti Utang (DEPKEU)
Pada tabel III-2 dapat dilihat bahwa pembayaran utang
pemerintah dari tahun 1990 sampai dengan 1996 masih stabil, akan tetapi pada
tahun 1997 sampai dengan 2005 pembayaran utang pemerintah terus meningkat
karena pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah yang
jatuh tempo akibat terdepresinya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap dolar
Amerika, apalagi terjadinya krisis moneter di Indonesia pada awal tahun 1998. Sebenarnya
pemerintah Indonesia sudah merencanakan untuk membayar sebagian besar jumlah
utang luar negerinya lebih cepat dari waktu pembayaran yang sebenarnya. Tapi
tampaknya komitmen pemerintah tidak berlangsung lama karena terjadinya krisis
moneter di Asia Tenggara dan Timur pada pertengahan tahun 1997.
Pembayaran kembali utang luar negeri yang meningkat dalam
jumlah besar ini dilakukan pemerintah tidak hanya memakai dana dari penerimaan
dalam negeri saja, tetapi dengan segala pertimbangan pemerintah terpaksa juga
menggunakan bantuan dana dari IMF. Jadi, utang luar negeri yang lama dibayar
dengan utang luar negeri yang baru. Dengan kata lain, Indonesia telah
terjerumus dalam krisis utang luar negeri, yaitu puncaknya pada tahun 1998 pada
saat tejadinya krisis monetet di Indonesia.
Akibat dari adanya bantuan IMF dalam jumlah yang sangat besar tersebut,
menyebabkan pemerintah Indonesia harus menerima berbagai persyaratan dan resiko
dalam pinjaman IMF ini. Sehingga pemerintah sangat terikat oleh
IMF di dalam menjalankan bidang perekonomian.
Oleh sebab ini, pemerintah terus meningkatkan pembayaran utang luar negerinya
terutama kepada IMF, agar tidak terikat lagi dengan IMF, yang sangat merugikan
perekonomian Indonesia. Demi mewujudkan Indonesia yang mandiri, adil, dan
sejahtera.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Perkembangan jumlah utang pemerintah dari tahun ke tahun cenderung mengalami
peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai berbagai tanggung jawab bagi
bangsa Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek, utang luar negeri dapat memberikan kontribusi dalam
pembiayaan pembangunan ekonomi nasional, sehingga dapat meningkatkan pendapatan
per kapita masyarakat sebelum terjadinya krisis ekonomi.
Dalam jangka panjang utang luar negeri akan berdampak akan ketergantungan
terhadap utang tersebut yang akan menjadi beban bagi pemerintah karena utang
tersebut harus dibayar beserta bunganya dan belum lagi persyaratan yang
diberikan selama peminjaman yang sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia.
4.2. Saran
Sebaiknya pemerintah Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap
pinjaman luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Kusfiardi. Koalisi Anti Utang. Data DEPKEU.
Atmadja, Adwin Surya. (2000). “Utang Luar Negeri
Pemerintah Indonesia”. Jurnal Akuntansi
Dan Keuangan Fakultas Ekonomi dan Akuntansi Universitas Kristen Petra,
Vol.2. No.1.
Chandler,
Lester V. (1962). Ekonomi Tentang Uang Dan Bank, Jilid ke I, Alih Bahasa
: H. Hutagalung, Bhratara, Jakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)