Senin, 06 April 2015

PERKEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH DI INDONESIA TAHUN 2010 - 2013


PENDAHULUAN 
Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia dimulai semenjak tahun 1990-an dan mengalami perkembangan yang semakin marak pada awal tahun 2000-an. Ditandai dengan bermunculannya sejumlah bank syariah yang didirikan oleh perbankan konvesional, baik yang sahamnya dimiliki pemerintah maupun swasta. Bahkan di saat krisis ekonomi lembaga keuangan syariah menunjukkan performanya.  Sistem keuangan syariah mulai muncul di Indonesia yaitu sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Tahun 1991. Setelah itu disusul oleh bank-bank lainnya, termasuk BPR Syariah serta Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Sekarang hampir semua bank nasional memiliki unit ataupun cabang syariah. Antara lain Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, BNI S yariah, BTN Syariah, HSBC Syariah, unit syariah Bukopin, BRI Syariah dan sebagainya.

Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah pada tahun 2010
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
1.       Menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
2.      Program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
3.      Program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
4.      Program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
5.      Program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
6.      Program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.






DATA PERKEMBANGANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

laju pertumbuhan aset perbankan syariah tersebut tetap lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan aset perbankan secara nasional, sehingga pangsa perbankan syariah secara keseluruhan dengan memasukkan BPRS terhadap industri perbankan nasional meningkat dari 4,61% menjadi 4,93%. Selain itu, pertumbuhan aset tersebut tetap diikuti pelaksanaan fungsi intermediasi yang optimal. Hal ini tercermin pada tren pertumbuhan dan nominal pembiayaan BUS dan UUS yang lebih tinggi dibandingkan dana pihak ketiga. Pada akhir 2013 pembiayaan BUS dan UUS tercatat sebesar Rp188,6 triliun, sementara dana pihak ketiga yang dihimpun mencapai Rp187,2 triliun, sehingga financing to deposit ratio perbankan syariah tetap relatif tinggi. Pada kelompok BUS misalnya, financing to deposit ratio tercatat sebesar 95,9% pada akhir periode laporan.
 






Secara regional, perkembangan perbankan syariah yang cukup pesat terjadi di sejumlah daerah. Hal tersebut tercermin dari pertumbuhan kegiatan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dan atau penyaluran pembiayaan yang masih cukup tinggi antara lain di beberapa propinsi di kawasan Kalimantan dan Jawa-Bali-Nusa Tenggara yang melebihi laju pertumbuhan perbankan syariah secara nasional. Namun demikian sejumlah propinsi khususnya di kawasan Sumatra menunjukan pertumbuhan yang relatif rendah dibandingkan industri. Secara proporsi, perkembangan perbankan syariah masih terkonsentrasi di wilayah DKI Jakarta. Namun proporsi pembiayaan yang disalurkan di wilayah ibu kota yang mencapai 40,1% relatif lebih rendah dibandingkan proporsi dana yang dihimpun di DKI Jakarta sebesar 46,6%, hal mana mencerminkan keberpihakan perbankan syariah terhadap pengembangan perekonomian di luar wilayah ibu kota.

KELEMBAGAAN
Jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah pada tahun 2013 bertambah seiring dengan beroperasinya sejumlah bank baru. Jumlah BUS tercatat tidak bertambah dari tahun sebelumnya yaitu tetap sebanyak 11 BUS, sedangkan jumlah UUS berkurang menjadi 23 UUS dengan ditutupnya UUS HSBC sebagai bagian dari konsolidasi global bank induknya. Sementara itu jumlah BPRS bertambah dari 158 BPRS menjadi 163 BPRS. Penambahan jumlah BPRS tersebut bersumber dari empat izin pendirian usaha baru dan satu izin konversi dari BPR konvensional. Selain itu pada tahun 2012 juga terjadi pencabutan izin usaha satu BPRS.

Bertambahnya jumlah bank juga diikuti dengan penambahan jaringan kantor, yang pada periode laporan bertambah sebanyak 565 kantor. Dari jumlah itu, 326 kantor merupakan jaringan kantor baru dari BUS dan UUS, dan satu kantor baru BPRS Peningkatan jumlah kantor tersebut pada sebagian besar dalam bentuk Kantor Cabang Pembantu (232 kantor), adapun penambahan Kantor Cabang tercatat sebanyak 53 kantor.


Dalam rezim suku bunga rendah yang berlanjut hingga awal 2013, persaingan di pasar pendanaan khususnya dalam memperebutkan dana ‘murah’ seperti giro dan tabungan semakin ketat sehingga perbankan syariah yang relatif kecil skala usahanya kembali mengandalkan deposito untuk mengejar target pertumbuhan dana. Namun seiring kenaikan suku bunga dana sebagai respon atas kenaikan BI rate sejak triwulan 2-2013, maka pertumbuhan deposito perbankan syariah juga melambat karena sulit menyaingi BUK besar yang memiliki struktur pendanaan yang lebih fleksibel untuk secara lebih agresif menaikkan suku bunga. Hal ini terkait dengan porsi giro dan tabungan terhadap DPK perbankan syariah yang masih sebesar 41,3% (turun dari 42,6% pada tahun 2012), lebih rendah dibandingkan porsi dana murah BUK besar (buku 4) yang mencapai 68% dan menguasai hingga 55% dana murah di pasar. Selain itu pada perbankan syariah, return dana pihak ketiga bergantung pada kinerja sektor riil di sisi aset bank (penentuan secara ex post), sehingga tidak se-fleksibel BUK yang dapat segera merespon perubahan suku bunga.
Indikasi terbatasnya daya saing perbankan syariah tersebut tercermin dari kenaikan return deposito bank syariah berjangka waktu satu bulan yang kurang dari 100 bps, sementara secara nasional bunga deposito satu bulan naik lebih dari 200 bps dalam periode yang laporan. Selain itu, perlambatan DPK perbankan syariah diperkirakan lebih dipengaruhi oleh penurunan preferensi kelompok nasabah institusi yang lebih cenderung lebih sensitif terhadap tingkat return mengingat ukuran dana yang relatif besar. Indikasi hal tersebut tercermin pada pertumbuhan DPK nasabah institusi tahun 2013 sebesar 20,0% (yoy), lebih rendah dibanding pertumbuhan DPK kelompok nasabah individual yang mencapai 28,9% (yoy). Selain itu, dari sisi jumlah rekening juga terjadi penurunan jumlah rekening deposito kelompok nasabah institusi hingga ±20 ribu rekening, disamping penurunan ±76 ribu rekening giro kelompok nasabah yang sama. Perkembangan tersebut menyebabkan pangsa DPK institusi menurun dari 50,1% pada tahun 2012 menjadi 48,3% pada tahun 2013 ( Dari gambar sebelumnya ), atau menyesuaikan dengan tingkat return yang masih dapat ditawarkan.
Meskipun secara nominal pertumbuhan DPK ( Dana pihak ketiga ) mengalami pelambatan, namun dari sisi jumlah rekening terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah rekening DPK yang dikelola BUS dan UUS per Desember 2013 mencapai 12,7 juta rekening, atau sekitar 8,6% dari total rekening simpanan yang dikelola bank umum secara nasional. Peningkatan jumlah rekening DPK juga terjadi pada BPRS yang telah mengelola 0,9 juta rekening, sehingga total rekening DPK perbankan syariah mencapai 13,6 juta, meningkat sebanyak 1,9 juta rekening. Perkembangan tersebut menunjukkan dukungan kuat perbankan syariah dalam meningkatkan akses keuangan masyarakat. Peningkatan akses dan preferensi nasabah atas produk dan layanan perbankan syariah senantiasa menjadi sasaran yang terus diupayakan pencapaiannya oleh otoritas antara lain melalui program iB campaign bersama industri perbankan syariah, edukasi masyarakat dan pengaturan serta perizinan perluasan jaringan.



Pembiayaan dan Risiko Kredit (credit risk)
Pertumbuhan pembiayaan (yoy) pada BUS tercatat sebesar 22,1%, melambat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 34,2%. Demikian pula halnya pertumbuhan pembiayaan pada kelompok UUS yang turun dari 85,3% menjadi 33,5%, serta pertumbuhan pembiayaan BPRS yang turun dari 32,8% menjadi 24,8% pada periode yang sama (Grafik 1.7). Perlambatan yang terutama dialami sejak semester kedua 2013 antara lain dipengaruhi ketatnya likuiditas sumber dana pembiayaan seiring kontraksi moneter, ekspektasi kenaikan risiko kredit, dan implementasi kebijakan prudensial seperti Financing To Value (FTV) dan down payment pembiayaan konsumsi.
Dilihat dari jenis akadnya, secara umum penyaluran pembiayaan perbankan syariah masih didominasi oleh akad murabahah. Pada periode laporan pembiayaan murabahah tumbuh 25,6% (yoy), sehingga menempati pangsa 60,0% dari total pembiayaan BUS dan UUS. Sementara pada pembiayaan BPRS pangsa akad murabahah mencapai 80,3%. Pemanfaatan akad-akad lain dalam pembiayaan berkembang secara dinamis, khususnya pada kelompok BUS dan UUS. Pada periode laporan, peningkatan preferensi penggunaan akad ijarah dalam pembiayaan BUS dan UUS masih berlanjut dengan pertumbuhan 42,7% (yoy), lebih tinggi dibanding peningkatan penggunaan akad lainnya. Sebaliknya pembiayaan berbasis qardh yang sejak tahun lalu mengalami perlambatan, pada periode laporan tumbuh -25,6% (yoy), sebagai dampak penyesuaian kebijakan terkait kehati-hatian dalam penjualan produk rahn emas.


PERKEMBANGAN SAHAM SYARIAH
Sejarah pasar modal syariah di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah pada tahun 1997. Selanjutnya, pada tahun 2000, Bursa Efek Indonesia (dh. Bursa Efek Jakarta) meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII) dengan tujuan untuk memandu investor yang ingin menginvestasikan dananya secara syariah. Instrumen investasi syariah di pasar modal bertambah dengan kehadiran Sukuk korporasi pada tahun 2002.
Sejak tahun 2007, saham-saham yang memenuhi kriteria sebagai saham syariah dikategorikan dalam Daftar Efek Syariah (DES). Pada tahun tersebut, DES yang pertama yang memuat 174 saham syariah. Pada tahun 2008, terbit Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara untuk pertama kalinya. Selanjutnya, pada tahun 2011, indeks saham syariah bertambah dengan diluncurkannya Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI).
Selama tahun 2013, terbit dua kali DES periodik. Pada DES periode I terdapat 302 saham syariah. Hingga akhir DES periode I, jumlah saham syariah bertambah menjadi 310. Jumlah saham syariah semakin meningkat pada DES periode II yaitu sebanyak 328, sehingga sampai dengan akhir Desember 2013, jumlah saham syariah sebanyak 331.
Mayoritas saham syariah bergerak dalam sektor Perdagangan, Jasa dan Investasi (27,22%), sektor Properti, Real Estate & Konstruksi (16,46%), sektor Industri Dasar dan Kimia (15,19%), dan sektor lainnya masing-masing dibawah 10%.

PROFITABILITAS DAN PERMODALAN
Pendapatan operasional perbankan syariah dalam periode laporan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Pada BUS dan UUS, pendapatan operasional per Desember 2012 tercatat sebesar Rp29,0 triliun atau meningkat sebesar 44,9% (yoy). Kenaikan pendapatan operasional tersebut ditopang oleh pendapatan dari aset produktif (penyaluran dana) yang tumbuh sebesar 37,3% (yoy), disamping pendapatan operasional lainnya yang meskipun memiliki share kurang dari 20%, namun tercatat tumbuh 86,8% (yoy). Pendapatan dari pembiayaan yang mencapai Rp21,2 triliun masih mendominasi sumber pendapatan operasional (73,0%), hal mana mencerminkan konsistensi preferensi dan keseriusan perbankan syariah melakukan intermediasi langsung ke sektor riil. Selain itu, pertumbuhan pendapatan dari pembiayaan yang mencapai 40.6% (yoy) melebihi pertumbuhan aset produktif sebesar 23,8% (yoy) juga mencerminkan peningkatan produktivitas aset. Adapun pertumbuhan pendapatan operasional lainnya didukung oleh kenaikan pendapatan dari transaksi valas dan dari adanya koreksi pencadangan kerugian aset produktif. Sedangkan pendapatan dari jasa layanan (fee based income) sedikit menurun (-2,8%, yoy) sejalan dengan upaya peningkatan kehati-hatian melalui pembatasan transaksi beragun emas.
Sepanjang 2013, biaya operasional BUS dan UUS mencatatkan pertumbuhan yang cukup signifikan yaitu sebesar 53,5% (yoy), atau melebihi laju pertumbuhan pendapatan operasional. Kenaikan biaya operasional tersebut dipengaruhi oleh kenaikan biaya pencadangan kerugian aset produktif yang meningkat 118,7% (yoy) sebagai antisipasi bank atas meningkatnya risiko kredit. Sedangkan biaya overhead seperti biaya tenaga kerja, sewa dan promosi, tumbuh sebesar 30,5% (yoy), atau lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pendapatan operasional. Sehingga rasio biaya overhead terhadap pendapatan operasional BUS dan UUS juga menurun dari 36,2% pada tahun 2012, menjadi 31,3% pada tahun 2013 (grafik 1.11). Perkembangan biaya overhead tersebut mencerminkan adanya peningkatan efisiensi kegiatan operasional perbankan syariah. Meski demikian, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) yang disesuaikan dengan memasukkan distribusi bagi hasil pada pembilang, tetap meningkat dari 82,6% pada tahun 2012 menjadi 84,5% pada tahun laporan sebagai dampak kenaikan biaya pencadangan kerugian. Lebih jauh lagi, net operational margin BUS dan UUS juga mengalami penurunan dari 2,2% menjadi 2,1% dalam periode yang sama.
Dari sisi profitabilitas, laba bersih BUS dan UUS pada tahun 2013 tercatat sebesar Rp3,3 Triliun meningkat 29,0% dari tahun sebelumnya. Namun demikian pertumbuhan tersebut melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 72,3% (yoy). Dari sisi tingkat pengembalian aset (Return on Asset/ROA), pertumbuhan laba yang melambat juga tercermin dari penurunan ROA yaitu dari 2,1% pada tahun 2012 menjadi 2,0% pada tahun laporan. Dibandingkan dengan perbankan secara nasional yang memiliki ROA 3,1%, tingkat profitabilitas perbankan syariah cenderung lebih rendah mengingat kemampuan menghasilkan pendapatan selain dari kegiatan penyaluran dana masih relatif terbatas.

 


Adapun pada BPRS, dalam periode yang sama pendapatan operasional tercatat tumbuh sebesar 24,8% (yoy). Namun pertumbuhan tersebut diikuti kenaikan biaya operasional yang mencapai 28,7% (yoy), terutama biaya terkait penyusutan dan penyisihan aset produktif, serta biaya tenaga kerja. Kondisi tersebut mempengaruhi efisiensi operasi BPRS yang sedikit menurun, tercermin dari kenaikan rasio biaya overhead (diluar penyisihan/penyusutan aset produktif) terhadap pendapatan operasional dari 43,8% pada akhir 2012, menjadi 44,7% pada akhir periode laporan. Sementara dari sisi profitabilitas, laba bersih BPRS selama tahun 2013 tercatat tumbuh 21,4% (yoy) menjadi Rp129,3 Milyar, dengan tingkat pengembalian aset (ROA) sebesar 2,8%.
Pada periode laporan permodalan BUS secara umum cenderung meningkat. Kapasitas permodalan bank dalam mengantisipasi risiko (risk bearing capacity) yang tercermin dari jumlah modal inti yang meningkat sebesar Rp3,6 triliun atau 31,7% (yoy), serta modal pelengkap yang meningkat Rp0,7 triliun (25,2%,yoy). Di sisi lain pertumbuhan ATMR BUS mencapai 27,9% (yoy), sehingga CAR BUS meningkat dari 14,1% pada tahun 2012 menjadi 14,4% pada akhir 2013. CAR tersebut mengindikasikan tingkat ketahanan risiko yang masih cukup memadai mengingat masih melebihi standar sebesar 8%, terlebih lagi rasio modal inti terhadap ATMR tergolong sangat memadai yaitu mencapai 11,8%. Sementara itu, kondisi permodalan BPRS juga tergolong memadai dengan rasio kecukupan modal mencapai 22,1%.




DATA PERKEMBANGANGAN REKSADANA SYARIAH DI INDONESIA

            Secara kumulatif sampai dengan 30 Desember 2013, terdapat 65 reksa dana syariah yang aktif, meningkat 12,07% dibanding akhir tahun 2012 yang berjumlah 58. Jika dibandingkan dengan total reksa dana aktif, maka proporsi jumlah reksa dana syariah aktif mencapai 7,90% dari total 823 Reksa Dana aktif.
Ditinjau dari Nilai Aktiva Bersih (NAB), total NAB reksa dana syariah aktif pada 30 Desember 2013 mencapai Rp 9,43 triliun, meningkat 17,14% dibanding NAB akhir tahun 2012 yang berjumlah Rp 8,05 triliun. Jika dibandingkan dengan total NAB reksa dana aktif, maka proporsi NAB reksa dana syariah aktif mencapai 4,90% dari total NAB reksa dana aktif sebesar Rp 192,54 triliun.





            ASURANSI SYARIAH
Pada Tahun 2013 jumlah perusahaan perasuransian yang menyelenggarakan usaha dengan prinsip syariah adalah 49 perusahaan. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan dengan jumlah penyelenggara usaha di tahun 2012. Sebanyak empat unit syariah dari perusahaan asuransi kerugian telah memperoleh izin pada tahun 2013.
                   Selama kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah perusahaan perasuransian syariah mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4,06%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2013 yang mencapai 8,89%, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut.

            Selama lima tahun terakhir, aset perusahaan pembiayaan syariah menunjukkan pertumbuhan yang relatif meningkat. Pencapaian pertumbuhan tertinggi aset perusahaan pembiayaan syariah dihasilkan pada tahun 2011-2012 dengan tingkat pertumbuhan mencapai 427,67%, sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik 3.3. Tren perkembangan aset perusahaan pembiayaan syariah yang sangat signifikan antara lain disebabkan oleh peningkatan pembiayaan syariah yang diajukan oleh konsumen.
Jika dibandingkan dengan total aset perusahaan pembiayaan konvensional, total aset perusahaan pembiayaan syariah yang berjumlah Rp24.639 miliar tersebut masih memiliki porsi yang kecil, yaitu sebesar 5,51% dari total aset perusahaan pembiayaan konvensional yang berjumlah Rp447.102 miliar. Begitu pula dengan total piutang perusahaan pembiayaan syariah yang berjumlah Rp22.356 miliar, juga masih memiliki porsi yang cukup kecil yaitu sebesar 6% dari total piutang pembiayaan konvensional yang berjumlah Rp372.399 miliar.

LIKUIDITAS PERBANKAN SYARIAH
Selama tahun 2013, Perbankan Syariah mulai menunjukkan kecenderungan untuk menempatkan likuiditas pada instrumen yang bertenor lebih panjang. Hal ini terlihat dari meningkatnya penempatan BUS/UUS pada instrumen RR SBSN yang memiliki tenor 1 bulan dan SBIS yang memiliki tenor 9 bulan. Di sisi lain peningkatan penempatan pada FASBIS hanya meningkat tipis.

Volume dan Frekuensi Transaksi Pasar Uang Syariah (PUAS)
Pada tahun 2013, aktivitas PUAS mengalami pertumbuhan yang signifikan, sebagaimana pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2012. Secara keseluruhan, volume transaksi PUAS pada tahun 2013 meningkat tajam sebesar 166,53% (yoy) dari Rp40,2 triliun menjadi Rp107,1 triliun. Demikian juga dengan rata-rata harian (RRH) volume PUAS yang meningkat sebesar 151,43% dari Rp172,5 miliar menjadi Rp433,7 miliar. Sedangkan frekuensi transaksi meningkat sebesar 41,70%.
Pertumbuhan aktivitas PUAS yang terjadi pada tahun 2013, baik volume maupun frekuensi transaksi, mengindikasikan meningkatnya kebutuhan likuiditas jangka pendek perbankan syariah. Pembiayaan yang diberikan terus meningkat sebagai upaya ekspansi kegiatan usaha perbankan syariah dengan pertumbuhan sebesar 24,8% (yoy). Namun demikian, peningkatan pembiayaan tersebut tidak diimbangi oleh peningkatan DPK sebagai sumber dana utama perbankan syariah yang hanya tumbuh sebesar 24,4%% (yoy). Pada semester I 2013, FDR perbankan syariah mengalami peningkatan, kemudian menurun pada semester II 2013, namun tetap tinggi yaitu di atas 100% (Grafik 5.3). Sejalan dengan hal tersebut, kebutuhan likuiditas jangka pendek yang dialami oleh perbankan syariah mengalami peningkatan yang tercermin dari meningkatnya volume transaksi di PUAS.


                Industri perbankan syariah Indonesia tahun 2014, diperkirakan tetap tumbuh positif dan menjanjikan walaupun terdapat beberapa tantangan seperti: (i) awal peralihan pengawasan perbankan syariah dari BI kepada OJK, (ii) tahun Pemilihan Umum (Pemilu), (iii) realisasi sejumlah komitmen pemerintah seperti pengalihan mayoritas dana haji kepada perbankan syariah, pendirian bank wakaf dan, (iv) dampak kebijakan lanjutan Federal Reserve untuk memulihkan perekonomian Amerika termasuk pergerakan harga minyak dan sejumlah komoditas internasional. Disamping tantangan-tantangan di atas, skenario pesimis terjadi apabila perekonomian domestik tahun 2014 masih menghadapi masalah defisit transaksi perdagangan sehingga menekan nilai tukar Rupiah dan inflasi di akhir tahun 2013 belum dapat diarahkan kepada target inflasi 2014. Menurunnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga selama 2013 apabila tidak membaik di tahun 2014 akan berpengaruh kepada kinerja sektor riil, kualitas pembiayaan dan target-target pencapaian perbankan syariah. Kemudian, apabila tekanan ekonomi 2013 tersebut berhasil diatasi, estimasi perbankan syariah akan menjadi skenario moderat yang ditandai oleh kontinuitas peningkatan penghimpunan dana, penyaluran dana termasuk kontribusi perbankan syariah bagi UKM dan peningkatan jumlah deposan. Terakhir, skenario optimis terjadi apabila faktor-faktor positif di skenario moderat didukung oleh realisasi sejumlah komitmen pemerintah, dukungan induk yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah, stabilitas ekonomi terhindar dari gejolak eksternal (a.l. pelarian dana asing, kenaikan harga komoditas, minyak), dan faktor struktural seperti terus bertambahnya jumlah bank syariah (BUS, UUS maupun BPRS) dan kantor layanan syariah serta hasil positif dari gerakan ekonomi syariah (GRES).

Senin, 30 Maret 2015

Jumat, 20 Februari 2015

HUTANG LUAR NEGERI YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

11.1  Latar Belakang Masalah
            Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, oleh sebab itu banyak negara yang ingin menguasai, memeras dan menguras bangsa Indonesia. Sejak kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan  pada 17 Agustus 1945, Indonesia mulai membangun negaranya agar menjadi negara yang mandiri, demi mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang adil dan makmur.
            Setelah merdeka, pemerintahan Indonesia memiliki warisan utang luar negeri yang diwariskan oleh pemerintahan Hindia Belanda, walaupun utang tersebut tidak pernah di bayar oleh pemerintahan Indonesia, akan tetapi pemerintah Indonesia memiliki utang yang baru. Utang pemerintah merupakan utang yang digunakan untuk melancarkan pembangunan perekonomian Indonesia.
            Pembangunan perekonomian suatu bangsa merupakan cara yang paling pertama dilakukan oleh suatu bangsa untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat suatu bangsa. Pembangunan ekonomi suatu negara tidak hanya dapat dilakukan dengan bertekat dan semangat yang membaja dari seluruh rakyatnya untuk membangun, tetapi harus di dukung juga oleh ketersediaan sumber daya ekonomi, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya modal yang produktif. Jadi, tanpa adanya daya dukung yang kuat dari sumber daya ekonomi yang produktif, maka pembangunan ekonomi mustahil dapat dilaksanakan dengan baik dan memuaskan. Adapun kepemilikan terhadap sumber daya ekonomi ini oleh negara-negara dunia ketiga atau negara-negara sedang berkembang tidaklah sama. Ada negara yang memiliki kelimpahan pada jenis sumber daya tertentu, ada pula yang kekurangan.
Indonesia merupakan termasuk salah satu negara sedang berkembang. Pemerintah Indonesia  berusaha dengan berbagai cara untuk melakukan pembangunan ekonomi untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi demi meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat dengan sumber daya ekonomi yang dimiliki Indonesia. Tetapi akibat dari sumberdaya ekonomi yang terbatas terutama sumberdaya modal maka pemerintah Indonesia mendatangkan pinjaman-pinjaman dari negara-negara lain untuk dapat memberikan dukungan yang cukup bagi pelaksanaan program pembangunan  ekonomi nasional. Pinjaman-pinjaman dari negara-negara lain ini tidak bersifat cuma-cuma, tetapi dengan berbagai konsekuensi baik yang bersifat komersil maupun politis.
            Pada satu sisi, datangnya pinjaman dari luar negeri tersebut dapat digunakan untuk mendukung program pembangunan ekonomi nasional pemerintah, sehingga target pertumbuhan ekonomi nasional masyarakat meningkat. Tetapi pada sisi lain, diterimanya pinjaman dari luar dapat menimbulkan berbagai masalah dalam jangka panjang, baik ekonomi maupun politik, dan akan menjadi beban yang seolah-olah tak terlepaskan, yang justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan rakyat.
            Utang pemerintah sudah berawal sejak masa jabatan presiden Soekarno, dan berlanjut ke masa presiden Soeharto, BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, serta hingga sampai dengan presiden sekarang Soesilo Bambang Yudhoyono. Dalam artian bahwa sejak merdeka pemerintah Indonesia sudah memiliki pinjaman dari negara-negara lain (utang) yang wajib dibayar dan setiap pergantian kepala pemerintahan, pemerintahan baru tersebut sudah memiliki kewajiban terhadap negara pemberi pinjaman. Didalam penulisan ini penulis ingin melihat utang pemerintah Indonesia dari tahun 1990-2005, khususnya utang luar negeri pemerintah Indonesia.
        Oleh sebab itu, kami ingin mengangkat masalah mengenai ” Utang Pemerintah Indonesia”.

1.1.2  Perumusan Masalah
            Utang pemerintah Indonesia sangat perlu diketahui mengingat sejak lahir kita semua sudah memiliki kewajiban utang kepada negara-negara pemberi pinjaman karena kita merupakan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, yang menjadi perumusan masalah adalah Bagaimanakah Utang Pemerintah Indonesia ?

1.1.3  Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan ini adalah : Untuk mengetahui utang pemerintah Indonesia.

BAB II
STUDI KEPUSTAKAAN

2.1. Landasan Teoritis
2.1.1. Pengertian Utang
            Utang merupakan satu kewajiban yang harus di bayar dikemudian hari yang timbul akibat transaksi-transaksi ekonomi dan keuangan di mana para pemberi pinjaman menyerahkan sesuatu yang berharga pada suatu waktu terrentu dalam pertukaran dengan suatu perjanjian para penerima pinjaman harus membayarnya dikemudian hari, ( Lester V. Chandler, 1962 : 40 ).
2.1.2. Jenis Utang
            Ada banyak jenis-jenis utang, dalam penulisan ini hanya empat yang kami sebut. Menurut Lester V. Chandler ( 1962 : 43 ), utang terbagi dalam berbagai jenis yaitu :
a. Utang berdasarkan sifat si pemberi pinjaman terbagi atas ;
    - utang perseorangan
    - utang perusahaan
    - utang pemerintah.
b. Utang berdasarkan sifat si penerima pinjaman terbagi atas ;
    - utang yang diberikan olah perseorangan
    - utang yang diberikan oleh perusahaan
    - utang yang diberikan oleh pemerintah.
c. Utang berdasarkan untuk tujuan apa utang itu diciptakan ;
    - utang konsumsi
    - utang produksi.

d. Utang berdasarkan lamanya waktu peminjaman ;
    - utang jangka panjang ( 1-5 tahun )
    - utang jangka pendek ( kurang dari 1 tahun )
    - utang yang dapat segera dibayar.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Utang Pemerintah Indonesia Dari Tahun 1990-2005
            Indonesia merupakan negara sedang berkembang. Sebelum terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintahan saat itu, yang menempatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sebagai target prioritas pembangunan perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak akhir tahun 1970-an selalu positif, serta tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, menyebabkan target pertumbuhan ekonomi yang relatif tersebut tidak cukup dibiayai dengan modal sendiri, tetapi harus ditunjang dengan menggunakan bantuan modal asing.
            Modal asing ini merupakan pinjaman / utang pemerintah terhadap negara pemberi pinjaman. Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta soft loan dari negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga pinjaman lainnnya, baik secara bilateral maupun multilateral.
Selanjutnya seiring dengan semakin berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman yang bersyarat lunak semakin terbatas diberikan, sehingga untuk keperluan-keperluan tertentu dan dalam jumlah yang terbatas, pemerintah mulai menggunakan pinjaman komersial dan obligasi dari kreditur swasta internasional.
            Karena semakin pesatnya pembangunan dan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk secara terus-menerus menjadi penggerak utama pembangunan nasional, maka pemerintah Indonesia mengambil suatu kebijakan agar pembangunan perekonomian Indonesia tetap berjalan dengan lancar demi kepentingan rakyat Indonesia agar adil dan sejahtera yaitu dengan cara melakukan kebijakan pinjaman luar negeri.
        
Adapun utang pemerintah Indonesia dari tahun 1990-2005 dapat dilihat dari pinjaman pemerintah sebagai berikut :
TABEL III-1
UTANG PEMERINTAH INDONESIA, 1990-2005
( Dalam Milyar Rupiah )
Tahun
Pinjaman Program
(realisasi)
Pinjaman Proyek
(realisasi)
Total Utang
1990
            83,815
         13,465
        97,280
1991
            99,751
         13,855
      133,606
1992
          110,979
         85,896
      196,875
1993
          107,525
       105,814
      213,339
1994
            98,378
       107,525
      205,903
1995
            90,088
         98,378
      188,466
1996
          119,001
         90,088
      209,089
1997
          143,856
       119,001
      262,857
1998
          511,067
       249,257
      760,324
1999
          249,257
         26,181
      275,438
2001
              6,416
         19,736
        26,152
2002
              9,346
         19,964
        29,310
2003
            10,350
         18,900
        29,250
2004
              3,140,80
         18,604,8
        21,745,6
2005
              7,905
         20,130,8
        28,035,8

         Sumber : Data Koalisi Anti Utang (DEPKEU)

Dari tabel III-1 dapat dilihat bahwa selama kurun waktu tahun 1990 sampai dengan tahun 1997 total utang pemerintah Indonesia masih stabil atau tidak terlalu besar perbedaan antara jumlah utang pemerintah pada saat tahun tersebut.
Tetapi  pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi di Indonesia, utang pemerintah Indonesia meningkat drastis menjadi Rp. 760.324 milyar, jadi pemerintah dengan segala kebijakannya memutuskan untuk melakukan pinjaman luar negeri guna menyelamatkan perekonomian nasional yang terancam kebangkrutan akibat dari semakin melemahnya mata uang rupiah terhadap dollar. Adapun pinjaman pemerintah yang begitu banyak pada tahun 1998 digunakan untuk menutup defisit anggaran yang besar akibat terjadinya krisis ekonomi.
            Setelah tahun1998, pinjaman pemerintah mulai menurun dari tahun 1999 sampai dengan 2005 demi mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap negara pemberi pinjaman.

3.2. Dampak Utang Pemerintah Terhadap Pembangunan Nasional
            Dalam jangka panjang, utang luar negeri dapat menimbulkan permasalahan ekonomi pada banyak negara penerima pinjaman. Di samping beban ekonomi yang harus di terima rakyat pada saat pembayaran kembali, juga beban psikologis politis yang harus diterima oleh negara penerima pinjaman akibat ketergantungannya denag bantuan asing.
            Sejak krisis moneter yang terjadi pada awal tahun 1980-an, negara-negara berkembang seperti Indonesia semakin terjerumus dalam krisis utang luar negeri, walaupun ada kecenderungan bahwa telah terjadi perbaikan atau kemajuan perekonomian di negara-negara tersebut. Peningkatan pendapatan per kapita atau laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara berkembang belum berarti bahwa pada negara-negara tersebut dikategorikan kedalam negara yang maju, dalam arti struktur ekonominya telah berubah menjadi struktur ekonomi industri dan perdagangan luar negerinya sudah mantap. Tetapi pada kenyataannya, besar-kecilnya jumlah utang pemerintah yang dimiliki oleh suatu negara yang sedang berkembang lebih disebabkan karena adanya defisit current account, kekurangan dana investasi, pembangunan  perekonomian yang tidak dapat ditutup dengan sumber-sumber dana didalam negeri, angka inflasi yang tinggi, dan ketidakefisienan struktural di dalam perekonomiannya.
            Sehingga meskipun secara teknis, pemerintahan suatu negara telah sempurna dalam upaya pengendalian utang luar negerinya, pencapaian tujuan pembangunan akan sia-sia, kecuali jika negara tersebut secara finansial benar-benar kuat, yaitu pendapatan nasionalnya mampu memikul beban langsung yang berupa pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri dan bunganya dalam bentuk uang kepada pemberi pinjaman di luar negeri, karena utang luar negeri selalu disertai dengan kebutuhan devisa untuk melakukan pembayaran kembali. Pembayaran cicilan utang beserta bunganya merupakan pengeluaran devisa yang utama bagi banyak negara-negara penerima pinjaman.
TABEL PEMBAYARAN UTANG PEMERINTAH INDONESIA, 1990-2005 ( Dalam Milyar Rupiah )
Tahun
Pembayaran Utang
1990
10,011
1991
10,837
1992
11,942
1993
12,302
1994
12,780
1995
13,225
1996
17,428
1997
35,297
1998
44,984
1999
39,335
2000
47,776
2001
57,270
2002
55,120
2003
51,170
2004
48,556
2005
52,111
2006
91,613
Sumber : Data Koalisi Anti Utang (DEPKEU)

Pada tabel III-2 dapat dilihat bahwa pembayaran utang pemerintah dari tahun 1990 sampai dengan 1996 masih stabil, akan tetapi pada tahun 1997 sampai dengan 2005 pembayaran utang pemerintah terus meningkat karena pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo akibat terdepresinya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap dolar Amerika, apalagi terjadinya krisis moneter di Indonesia pada awal tahun 1998. Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah merencanakan untuk membayar sebagian besar jumlah utang luar negerinya lebih cepat dari waktu pembayaran yang sebenarnya. Tapi tampaknya komitmen pemerintah tidak berlangsung lama karena terjadinya krisis moneter di Asia Tenggara dan Timur pada pertengahan tahun 1997.
Pembayaran kembali utang luar negeri yang meningkat dalam jumlah besar ini dilakukan pemerintah tidak hanya memakai dana dari penerimaan dalam negeri saja, tetapi dengan segala pertimbangan pemerintah terpaksa juga menggunakan bantuan dana dari IMF. Jadi, utang luar negeri yang lama dibayar dengan utang luar negeri yang baru. Dengan kata lain, Indonesia telah terjerumus dalam krisis utang luar negeri, yaitu puncaknya pada tahun 1998 pada saat tejadinya krisis monetet di Indonesia.
            Akibat dari adanya bantuan IMF dalam jumlah yang sangat besar tersebut, menyebabkan pemerintah Indonesia harus menerima berbagai persyaratan dan resiko dalam pinjaman IMF ini. Sehingga pemerintah sangat terikat oleh IMF di dalam menjalankan bidang perekonomian.
            Oleh sebab ini, pemerintah terus meningkatkan pembayaran utang luar negerinya terutama kepada IMF, agar tidak terikat lagi dengan IMF, yang sangat merugikan perekonomian Indonesia. Demi mewujudkan Indonesia yang mandiri, adil, dan sejahtera.






BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
            Perkembangan jumlah utang pemerintah dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai berbagai tanggung jawab bagi bangsa Indonesia, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
            Dalam jangka pendek, utang luar negeri dapat memberikan kontribusi dalam pembiayaan pembangunan ekonomi nasional, sehingga dapat meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat sebelum terjadinya krisis ekonomi.
            Dalam jangka panjang utang luar negeri akan berdampak akan ketergantungan terhadap utang tersebut yang akan menjadi beban bagi pemerintah karena utang tersebut harus dibayar beserta bunganya dan belum lagi persyaratan yang diberikan selama peminjaman yang sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia.

4.2. Saran
            Sebaiknya pemerintah Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Kusfiardi. Koalisi Anti Utang. Data DEPKEU.
Atmadja, Adwin Surya. (2000). “Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia”. Jurnal Akuntansi
             Dan Keuangan Fakultas Ekonomi dan Akuntansi Universitas Kristen Petra, Vol.2. No.1.
Chandler, Lester V. (1962). Ekonomi Tentang Uang Dan Bank, Jilid ke I, Alih Bahasa : H. Hutagalung, Bhratara, Jakarta.